Resensi Buku Raden Ajeng Kartini Karya Anom Whani Wicaksana

by - 01:57



MELIHAT PERCIKAN API SEMANGAT SEORANG KARTINI

Judul Buku               : Raden Ajeng Kartini: Perempuan Pembawa Cahaya untuk Bangsa
Penulis                       : Anom Whani Wicaksana
Jumlah Halaman      : 128 halaman
Penerbit                     : C-Klik Media
Tahun Terbit             : Cetakan I, 2008
Tempat Terbit           : Yogyakarta
Harga                         : Rp39.000,00
ISBN                          : 978-602-5448-33-1

Raden Ajeng Kartini: Perempuan Pembawa Cahaya untuk Bangsa adalah salah satu dari sekian banyaknya buku biografi tentang tokoh emansipasi wanita terkenal di Indonesia, Kartini. Buku besutan Anom Whani Wicaksana ini mengisahkan perjalanan hidup seorang Kartini yang saat itu lahir pada masa penjajahan Hindia-Belanda. Dengan sampul berwarna kuning keemasan bergambar Kartini, buku ini cukup menarik mata. Ilustrasi sampul dibuat seperti kertas usang. Gambaran yang sangat cocok untuk melukiskan sosok Kartini yang dikenal gemar menulis surat. Raden Ajeng Kartini adalah salah satu tokoh wanita hebat yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Ia dianggap sebagai pahlawan karena kegigihannya dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
Kartini lahir dari keluarga berdarah biru pada 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808, bertepatan dengan 21 April 1879, di Mayong. Ia merupakan anak kelima dari pernikahan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Ngasirah. Ayahnya merupakan seorang Bupati Jepara yang sangat memegang teguh adat-istiadat Jawa. Meskipun demikian, keluarga Kartini, terutama ayahnya memiliki pemikiran maju dan modern.
Kartini kecil tumbuh menjadi gadis yang kritis dan berani. Ia sangat teliti dalam mengerjakan apapun. Saat berumur 6,5 tahun, Kartini meminta kepada ayahnya untuk bersekolah. Pada masa itu, yang boleh sekolah hanya anak laki-laki dan anak perempuan keturunan Belanda. Sebenarnya, Sasroningrat adalah priyayi berpandangan maju, tapi dia enggan melanggar tradisi bahwa perempuan tidak boleh bersekolah. Kartini tidak mau mengikuti tradisi yang diskriminatif tersebut. Ia ingin bersekolah sebagaimana semua kakak laki-lakinya. Melihat kegigihan Kartini, sang ayah akhirnya memberikan izin pada Kartini untuk berskeolah. Kartini dan saudara-saudara perempuannya dimasukkan di Europesche Lagere School (ELS), yang hampir semua muridnya adalah laki-laki.
Mengenyam pendidikan selama tujuh tahun di sana, Kartini mahir berbahasa Belanda. Sebagai murid Bumiputera, Kartini di sekolah tampak lebih menonjol dibanding murid-murid lain yang berkebangsaan Belanda. Kecerdasannya tergolong istimewa. Kartini akhirnya lulus dari ELS sebagai siswa terbaik. Kartini sangat memegang teguh prinsipnya. Ia percaya bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang layak sehingga perempuan dapat mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar. Kartini meminta ayahnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ayahnya tidak mengizinkan karena terhalang oleh adat yang tidak memperbolehkan perempuan mendapatkan pendidikan. Perempuan harus tunduk dalam sebuah budaya yang sangat patriarki, yaitu hidup di bawah kekuasaan laki-laki.
Setelah lulus dari ELS, Kartini dipingit selama 4 tahun. Seorang Kartini yang memiliki jiwa bebas terasa sangat tersiksa dalam masa pingitan. Ia tidak diperbolehkan keluar rumah sama sekali. Namun, hal itu bukan penghalang baginya untuk terus memperluas cakrawala pengetahuan. Kartini rajin membaca surat kabar dan kritis dalam menilai sesuatu. Ia juga banyak menulis surat kepada sahabat-sahabat penanya yang kebanyakan merupakan keturunan Eropa tentang keluh kesah dirinya sebagai perempuan Jawa. Surat-suratnya berisi tentang betapa irinya ia kepada perempuan-perempuan Eropa yang tetap mendapatkan pendidikan. Ia ingin perempuan dari bangsanya juga memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Serta bisa merasakan kebebasan, terutama dalam pendidikan.
Hingga akhir hayatnya sekalipun, Kartini tetap memiliki pemikiran  yang menginginkan agar perempuan-perempuan Bumiputera memiliki hak yang sama dengan laki-laki, terutama dalam memperoleh pendidikan. Sepeninggal Kartini, salah satu sahabat penanya, Mr. J.H. Abendanon menyatukan riwayat korespondensi Kartini pafa teman-temannya di Eropa dalam sebuah buku yang diberi judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Istilah tersebut sangat lekat dengan sosok Kartini hingga saat ini.
Penulis sangat lihai dalam menggambarkan Kartini sebagai sosok wanita dengan semangat yang berapi-api dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Dalam buku ini juga disebutkan beberapa tokoh yang menjadi sahabat pena Kartini selama masa pingitan. Banyak sesuatu yang mungkin sedikit orang tahu tentang sosok Kartini, diceritakan pada buku ini. Seperti, ibu dari Kartini yang ternyata bukan keturunan bangsawan, mulianya hati Kartini yang meminta agar beasiswa kedokteran yang didapatkannya diserahkan kepada pemuda lain, hingga cerita akhir hayat Kartini yang meninggal setelah baru sehari menyandang gelar ‘Ibu’.
Buku ini sangat menggambarkan karakter kuat Kartini sebagai sosok wanita cerdas. Banyak kutipan dari surat-surat Kartini dicantumkan pada buku ini. Isi surat-surat itu menceritakan kesah Kartini yang merasa terpenjara dalam hidupnya karena tidak mendapat kebebasan. Kalimat-kalimat dalam suratnya juga membuat pembaca terenyuh dengan betapa gigihnya keinginan Kartini untuk menyetarakan derajat perempuan dan laki-laki. Tampaknya penulis ingin menekankan kepada pembaca mengenai sosok Kartini yang berani, cerdas, gigih, dan kritis. Jelas terlihat bahwa penulis ingin menyampaikan pesan tersirat pada bukunya agar para pembaca, terutama kaum wanita, untuk tidak menjadi sosok kura-kura dalam tempurung.
Terdapat pula foto-foto Kartini yang dilampirkan pada buku ini. Hal ini membuat pembaca tidak melulu melihat tumpukan huruf. Keberadaan foto Kartini dalam buku ini membuat imajinasi pembaca semakin kuat dalam membayangkan sosok Kartini. Itu merupakan nilai tambah tersendiri pada buku ini. Pembaca yang tidak terlalu suka melihat banyak tulisan, mendapat penyegaran dengan melihat foto-foto Kartini.
Buku ini terbagi menjadi sebelas bab. Berlabel sebagai buku biografi yang lazimnya ditulis secara runtut dari lahir sampai akhir hayat tokoh. Namun, penulis terkesan tidak berurutan dalam menceritakan perjalanan  hidup seorang Kartini. Pada bab tiga saja, sebenarnya sudah tertera tentang akhir hayat seorang Kartini. Hal ini membuat pembaca bertanya-tanya apa yang ada di bab berikutnya jika pada bab tiga saja sudah diceritakan tentang kematian Kartini. Pertanyaan itu membuat pembaca kurang puas dalam membaca bab-bab setelahnya. Bab berikutnya terkesan seperti alur mundur yang menceritakan kenangan hidup dan perjuangan yang dilakukan Kartini. Pembaca akan merasa seperti sudah tidak ada ketertarikan lagi untuk menulusuri lebih dalam perjalanan hidup Kartini. Karena ketiga bab awal merupakan ringkasan tentang perjalanan hidup Kartini.
Selain itu, terdapat banyak kesalahan penulisan dalam buku ini, atau yang biasa disebut typo. Seperti kesalahan tulisan ‘hak-hal’ yang seharusnya ditulis ‘hal-hal’. Serta ketumpangtindihan bahasa yang dipilih sehingga menjadi kalimat yang kurang efektif. Terdapat pula kesalahan pencetakan (halaman 37) sehingga ada beberapa huruf yang tidak terlihat. Hal-hal tersebut dapat mengurangi kenikmatan pembaca dalam menghayati cerita.
Dengan mengesampingkan kesalahan-kesalahan tersebut, secara keseluruhan kata-kata yang digunakan oleh penulis andil peran dalam menghayati buku ini. Bahasa yang digunakan indah namun tetap dapat dimengerti oleh orang awam. Tidak terlalu berat, tetapi tetap formal. Sangat cocok menjadi bacaan ringan. Kalimat yang ditulis pun tidak bertele-tele sehingga pembaca dapat langsung mengambil poin intinya.
Buku ini sangat tepat untuk bacaan semua kalangan, terutama kaum muda. Pembaca akan diajak bercermin dengan melihat tokoh  Kartini. Memiliki jiwa bebas, berani berpendapat, serta tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan mimpi. Tidak hanya untuk kaum wanita, buku ini juga dapat diperuntukkan kaum pria dalam melihat wanita yang juga ingin memiliki kesejajaran dengan laki-laki.



© ditulis oleh Aquinsha



You May Also Like

0 comments

Udah baca postingan aku? Jangan lupa comment nya ya!